Rabu, 28 Desember 2016

Asal Muasal Tanda Baca



Apakah Anda pernah bertanya, mengapa harus ada tanda baca dalam sebuah kalimat maupun paragraf? Usut punya usut, ternyata orang zaman dulu memang tidak menggunakan tanda baca dalam menyusun kalimat.
Kemudian pada abad ke-2 sebelum masehi, seorang penulis bernama Aulus Gellius sempat ragu dalam membaca naskah yang tidak memiliki tanda bacanya. Ia memprotes dengan alasan takut salah memaknai sebuah makna. Protes yang ia sampaikan diabaikan dalam beberapa waktu. Barulah pada abad ke-3 sebelum masehi, seorang pustakawan bernama Aristophanes merasa sudah saatnya berbuat sesuatu untuk memudahkan membaca koleksi ratusan ribu gulungan yang ada di perpustakaannya.
Aristophanes kemudian membuat tanda baca sederhana berupa titik di bagian tengah, bawah, dan atas. Titik-titik ini berguna untuk menunjukan jeda dan memotong teks yang terlalu panjang. Inilah awal tanda baca berkembang.
Sayangnya, penggunaaan titik-titik ini kemudian dihentikan ketika Roma mengambil alih Yunani sebagai penguasa kekaisaran kuno. Salah satu pembicara terkenal Roma, Cicero, mengatakan bahwa akhir kalimat ditentukan oleh penekanan irama, bukan tanda baca yang ditentukan penulis naskah atau pembicara yang mengambil napas.
Seiring dengan berkembangnya zaman, tanda bacapun ikut berkembang. Tiga titik yang dicentuskan oleh Aristophanes tak digunakan, hanya menyisakan titik bawah. Kemudian penulis Italia bernama Boncompagno da Signa mengusulkan sistem tanda baca baru berupa garis miring (/) yang berarti jeda dan tanda datar (-) berarti menghentikan kalimat.
Pada puncak Renaisans, penggunaan tanda baca merupakan perpaduan dari jaman Yunani Kuno, seperti titik dua (:), tanda tanya (?), dan tanda baca lainnya yang bermulai dari simbol abad pertengahan.
Tanda baca berkembang dengan seiringnya perkembangan zaman. Dengan teknologi yang maju, tanda baca mulai terlihat berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar