Apakah
Anda pernah bertanya, mengapa harus ada tanda baca dalam sebuah kalimat maupun
paragraf? Usut punya usut, ternyata orang zaman dulu memang tidak menggunakan
tanda baca dalam menyusun kalimat.
Kemudian
pada abad ke-2 sebelum masehi, seorang penulis bernama Aulus Gellius sempat
ragu dalam membaca naskah yang tidak memiliki tanda bacanya. Ia memprotes
dengan alasan takut salah memaknai sebuah makna. Protes yang ia sampaikan diabaikan
dalam beberapa waktu. Barulah pada abad ke-3 sebelum masehi, seorang pustakawan
bernama Aristophanes merasa sudah saatnya berbuat sesuatu untuk memudahkan
membaca koleksi ratusan ribu gulungan yang ada di perpustakaannya.
Aristophanes
kemudian membuat tanda baca sederhana berupa titik di bagian tengah, bawah, dan
atas. Titik-titik ini berguna untuk menunjukan jeda dan memotong teks yang
terlalu panjang. Inilah awal tanda baca berkembang.
Sayangnya,
penggunaaan titik-titik ini kemudian dihentikan ketika Roma mengambil alih
Yunani sebagai penguasa kekaisaran kuno. Salah satu pembicara terkenal Roma,
Cicero, mengatakan bahwa akhir kalimat ditentukan oleh penekanan irama, bukan
tanda baca yang ditentukan penulis naskah atau pembicara yang mengambil napas.
Seiring
dengan berkembangnya zaman, tanda bacapun ikut berkembang. Tiga titik yang
dicentuskan oleh Aristophanes tak digunakan, hanya menyisakan titik bawah. Kemudian
penulis Italia bernama Boncompagno da Signa mengusulkan sistem tanda baca baru
berupa garis miring (/) yang berarti jeda dan tanda datar (-) berarti
menghentikan kalimat.
Pada
puncak Renaisans, penggunaan tanda baca merupakan perpaduan dari jaman Yunani
Kuno, seperti titik dua (:), tanda tanya (?), dan tanda baca lainnya yang
bermulai dari simbol abad pertengahan.
Tanda
baca berkembang dengan seiringnya perkembangan zaman. Dengan teknologi yang
maju, tanda baca mulai terlihat berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar